Berdamai

Pandemi seolah menghentikan waktu. Rencana-rencana dibekukan. Target-target yang dipancang pada awal tahun diabaikan.

Tujuan hidup sementara berubah, tak lagi mencapai target ini itu, tetapi menjadi cukup masih baik-baik saja, secara fisik maupun mental. Yang mana tentu sulit. Virus ganas mengintai di luar sana. Kita juga harus berkompromi dengan banyak hal karena rutinitas hidup berubah, mungkin juga penghasilan.

Kami pun menunda beberapa rencana yang semula akan segera dilaksanakan setelah ayah si bocah menyelesaikan kuliah. Qadarullah, kuliah selesai bersamaan dengan mulai merebaknya virus itu. Sidang terbuka suami di Bandung hanya selang tiga hari setelah kasus pertama di Jakarta resmi diumumkan.

Wisuda yang kunanti-nanti juga batal. Iya, malah aku yang tak sabar menanti, yang melakoni kuliah malah cuek-cuek saja. Untung belum jadi pesan tiket kereta dan penginapan untuk keluarga di Kebumen. Sebagai wong Jawa, mencari keberuntungan dari suatu persoalan adalah sebuah jalan ninja.

Pasti banyak orang pernah mengalami yang disebut menunda atau membatalkan rencana. Ini juga bukan kali pertama kami merasainya. Namun, makin banyak nafas kuhirup di dunia, makin kusadari bahwa hidup itu ya memang seperti itu. Walau sudah merencanakan sesuatu sedetail mungkin, bisa saja tiba-tiba ia menguap. Lenyap. Seperti kayu bakar yang sudah berubah jadi asap.

Rencana tinggal rencana itu biasa. Bedanya kali ini, mayoritas orang di bumi kompak mengubah rencana dan menggeser prioritas. Itu yang jadi luar biasa.

Yang lucu, sebelumnya aku menganggap kuliah suamiku kemarin mirip pandemi ini, sama-sama menghentikan waktuku. Sekarang aku tak sungkan menulis ini ya karena kuliah suamiku sudah rampung, hehehe. Semua sudah berlalu dan kini tinggal jadi kenangan. 😀

Sungguh, ketika seseorang yang sudah berkeluarga mengambil kuliah S3, yang berjuang itu bukan hanya dia, melainkan juga pasangan dan anaknya.

Makanya aku tak sabar menanti-nanti wisuda, karena bagiku itu adalah perayaan untuk diriku sendiri. Aku jauh lebih bersuka cita menyambut wisuda ini daripada wisudaku sendiri. Kuanggap itu adalah kelulusanku menemaninya kuliah hingga selesai. Yang mana selesainya molor jauh dari target awal itu, hehehe…

Mulai kuliah dari anak baru bisa merangkak, selesai anak sudah diterima masuk SD. Lima setengah tahun itu lama, Jenderal…

Eh, wisuda malah batal. Wisuda virtual pun tidak. Ya sudah.

Saat sedang di titik rendah dulu, aku kadang bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah ini yang disebut pengorbanan? Tapi saat melihat perjuangan suami, yang bahkan sampai sakit GERD berbulan-bulan karena stress, yang tetap bekerja keras memenuhi tugas sebagai kepala rumah tangga, yang tetap berusaha menjadi sahabatku di rumah mendengarkan segala keluh kesah, juga tetap menjadi teman main anak kami, aku merasa tak layak menyebut apa yang aku lakukan sebagai pengorbanan. Wong aku tidak melakukan apa-apa.

Masalah-masalah hidup memang hadir. Apalagi bagi mahasiswa yang sudah berkeluarga, kehidupannya melibatkan banyak manusia lain. Masalah jadi lebih kompleks.

Tapi sekali lagi karena ya begitulah hidup. Masalah memang keniscayaan. Mau suami kuliah atau tidak, masalah akan tetap hadir dalam hidup. Kami yang harus bisa berdamai dengan masalah. Kami yang harus bisa lebih jernih dalam berpikir dan lebih tenang dalam menghadapi.

Kini, kami bagai keluar dari “menunda rencana”, lalu masuk ke “menunda rencana” berikutnya. Tak hanya rencana besar seperti sebelumnya, sekarang sekadar rencana untuk piknik ke luar kota saja juga gagal. Mungkin, nanti rencana-rencana kami ada yang tak terwujud. Tapi, bukankah demikian hidup?

Aku sudah pernah dan hingga saat ini masih berusaha untuk bisa berdamai. 

🙂

 

Tapi bukan berdamai dengan COVID-19 ya. Kutak suka terminologi itu. 😐

Ikuti Percakapan

3 Komentar

  1. Lama juga ya ren.. Aku ga pernah ngalami, jadi ga tau susahnya kaya apa. Tapi kalo misal ngempet, ga bisa ini itu, itu perasaanku pas mbangun rumah ini dulu. 4 tahun lebih. Ngempeeet banget. Jarang bisa wisata kaya keluarga lain. Selalu ngiler liat anak2 lain plesir kesana kemari. Tinggal satu gardan, nanggung banyak tanggungan. Sungguh posisi yg sulit. Mana aku bertekad ga mau ambil utang. Alhamdulillah sudah berlalu. 😬

    1. Yang kuliat2, ambil S3 ini berlipat2 lebih susah dari S1 dan S2. Si mahasiswa kayak nyelesein teka-teki yang ga tau bakal seberapa susah. Perjalanannya panjang dan melelahkan. Kudu kuat mental, kudu tekun.

      Dukungan keluarga juga berpengaruh banget. Ya dukungan material, ya imaterial. Kita stres, yang jadi mahasiswa makin stres. Masa beasiswa udah habis, kita merogoh kantong sendiri yang mana jumlahnya tak sedikit.

      Dulu sampai tiap ada temen yang berangkat umroh, aku nitip doain cuma satu: semoga suami segera lulus kuliah. 😀

  2. Saya memutuskan tak melanjutkan kerana dapat job keliling Indo selama dua tahun … sy korbankan kuliah sy, kapan lagi ada yg membelikan tiket plus akomodasi … saat itu harga tiket pswt masih mahal …. pengorbanan ibu utk studi suami tak kan percuma, akan datang saatnya menikmati hasil berdamai di atas … nice posting

Tinggalkan komentar