Berdamai

Pandemi seolah menghentikan waktu. Rencana-rencana dibekukan. Target-target yang dipancang pada awal tahun diabaikan.

Tujuan hidup sementara berubah, tak lagi mencapai target ini itu, tetapi menjadi cukup masih baik-baik saja, secara fisik maupun mental. Yang mana tentu sulit. Virus ganas mengintai di luar sana. Kita juga harus berkompromi dengan banyak hal karena rutinitas hidup berubah, mungkin juga penghasilan.

Kami pun menunda beberapa rencana yang semula akan segera dilaksanakan setelah ayah si bocah menyelesaikan kuliah. Qadarullah, kuliah selesai bersamaan dengan mulai merebaknya virus itu. Sidang terbuka suami di Bandung hanya selang tiga hari setelah kasus pertama di Jakarta resmi diumumkan.

Wisuda yang kunanti-nanti juga batal. Iya, malah aku yang tak sabar menanti, yang melakoni kuliah malah cuek-cuek saja. Untung belum jadi pesan tiket kereta dan penginapan untuk keluarga di Kebumen. Sebagai wong Jawa, mencari keberuntungan dari suatu persoalan adalah sebuah jalan ninja.

Lanjutkan membaca “Berdamai”

A Real Hero

Dua hari ini, waktuku banyak kuisi dengan membaca tulisan para guru dari berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besar daerah itu tak pernah kudengar namanya. Aku kembali tersadar bahwa Indonesia memang luas sekali. Indonesia bukan hanya Jakarta, bukan cuma Jawa.

Berawal dari sebuah lomba menulis opini yang diadakan unit kerjaku. Temanya terkait APBN. Lalu, aku diminta untuk membantu proses seleksi. Beberapa tahun lalu aku pernah membantu proses serupa. Bedanya dulu lomba untuk siswa SMA, kini lomba untuk guru.

Aku pikir semua akan menyenangkan. Seperti lomba terdahulu.

Aku pikir akan kembali berbangga saat membaca tulisan-tulisan peserta. Pada lomba sebelumnya, dadaku merasa hangat ketika membaca guratan pemikiran anak SMA yang benar-benar bernas. Sungguh banyak sekali anak luar biasa di negeri ini.

Aku salah. Kali ini beda.

Lanjutkan membaca “A Real Hero”

Pos Pertama

Sore ini langit Jakarta mendung. Hujan beberapa jam tadi siang belum cukup mengusir awan-awan kelabu pengantar rintik air. Mas-mas ramah dari Klik Indomaret baru saja datang membawa sekotak besar pesanan dan lima batang es krim. Masih sama seperti yang lalu-lalu, ia bermasker dan bersarung tangan latex.

“Terima kasih ya, Bu,” ucapnya usai menyerahkan semua barang. Kudengar senyum di balik suara.

Lho, keduluan. Harusnya aku yang berterima kasih.

“Sama-sama Mas,” balasku, turut tersenyum. Tanpa bisa ia lihat, wong sama-sama bermasker.

 

Lanjutkan membaca “Pos Pertama”